Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih
rendah. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton/ha (Purba S dan Las, 2002)
jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan negara
produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia
ada pada peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5
ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha ( FAO, 1993).
Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman
pangan adalah (a) Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah;
(b)Tingkat kesuburan lahan yang terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c)
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Guedev S Kush,
2002).
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari
besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di
lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan
penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh
petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar,
2000). Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara
pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya
sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu
sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan
budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan
menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran
tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15 – 20 % dan memakai air
irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain berdampak pada rendahnya
produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran
terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan
yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha
budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan
subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan
percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah
adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi
produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai
secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Sebagai contoh petani
dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas organik hayati (misal :
Bio P 2000 Z), benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca panen dan sekaligus
pengawalan pendampingannya.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi
hijau dengan mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada
kesuburan tanah yang berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen yang
tidak diinginkan. Sebagai contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N)
cenderung menampakkan respon kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada
cepat habisnya bahan organik tanah karena memacu berkembangnya dekomposer dan
bahan organik sebagai sumber makanan mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian
pupuk kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus menyebabkan tumpukan
residu yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan
menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”. Akibatnya disamping hilangnya
mikroba pengendali keseimbangan daya dukung kesuburan tanah, ketidak-seimbangan
mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang
kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi dengan berbagai upaya program revolusi
hijau yang telah ada tidak lagi memberikan kontribusi pada peningkatan
produktivitas karena telah mencapai titik jenuh (Levelling Off) dan
produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun.
Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil
Management untuk mengembali-kan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai
ragam mikroba pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun
bahan organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah
yang tepat dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah
diketahui bahwa mikro-organisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke
tanah dan dapatdiberdayakan agar mereka berfungsi mengendalikan
keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana mestinya. Selain itu, sekumpulan
mikro-organisme diketahui menghuni permukaan daun dan ranting. Sebagian dari
mereka ada yang hidup mandiri, bahkan dapat menguntungkan tanaman (Mashar,
2000). Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah diungkapkan dalam
kaidah-kaidah penerapan pupuk hayati (misal : Bio P 2000 Z).
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum
optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar
negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah
mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas
unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya breeding modern,
teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki
memiliki kemampuan genetik produksi tinggi (Gurdev S Kush, 2002), tetapi jika
dalam menerapkannya di lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan
genetiknya tidak nampak. Hasil penggunaan varietas unggul di lapangan
seringkali masih jauh dari harapan. Penyebabnya adalah masih belum dipahaminya
teknik budidaya sehingga hasil yang didapat belum menyamai potensinya, apalagi
melebihi.
Untuk mendapatkan performa hasil maksimal dari tanaman
unggul baru yang diharapkan memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “Presisi”
dalam budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT
(Anonim, 2003) dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Pada kenyataannya baik
tanaman unggul seperti padi VUB, Hibrida dan PTB; dan kedelai serta Jagung
hibrida akan mampu berproduksi tinggi jika pengawalan manajemen budidayanya
dipenuhi dengan baik, tetapi jika tidak justru terjadi sebaliknya. Hasilnya
lebih rendah dari varietas lokal. Hal ini berarti bakal calon penerapan
varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan pengawalan dan
manajemen teknologi penyerta dengan baik dan diterapkan secara paripurna. Untuk
hal tersebut petani harus diberikan dampingan dan memanejemen budidaya secara
intensif.
Upaya Menambah Perluasan Lahan Pertanian Baru
Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional
antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang
dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain
seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah
menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang
dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di pulau
Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring
meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai
ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus
untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan/atau membuka areal baru
pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya
yang dapat ditempuh adalah: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut
termasuk di kawasan pasang surut (Alihamsyah, dkk, 2002) (2) Mengoptimalkan
lahan tidur dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas
mutlak harus di barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat
sebagian besar lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan
mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk
pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto,
E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai peluang
terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan
tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata tanaman pangan padi, Jagung dan
Kedelai di lahan lebak/pasang surut dengan penerapan teknologi konvensional
hasilnya masih rendah yaitu : secara berturut turut sekitar 3,5 ton/ha; 2,8
ton/ha dan 0,8 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman
sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah
dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman Air
(Moeljopawiro, S., 2002)
Ditemukannya teknologi baru (misalnya Bio P 2000 Z) dengan
memanfaatkan mikroba penyubur dan pengendali kesuburan alami tanah di lahan
lebak dan pasang surut memberikan bukti bahwa produktivitas tanaman pangan tersebut
mampu lebih tinggi dibanding produktivitas konvensional di lahan subur atau
produktivitas rata-rata nasional yaitu: 5,5 - 8 ton/ha padi; 2,5 – 3,5 ton/ha
kedelai dan 5 – 8 ton/ha jagung JPK). Ternyata dengan sistem demikian masalah
tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan. Efek mikroba
memiliki manfaat yang besar dalam mengendalikan lingkungan mikro tumbuh kembang
tanaman yang secara sinergi memberikan manfaat: (1) diredamnya faktor
penghambat tumbuh kembang tanaman yang dijumpai dalam tanah termasuk
menetralkan kemasaman lahan, (2) adanya produksi senyawa bio-aktif seperti
enzim, hormon, senyawa organik, dan energi kinetik yang memacu metabolisme
tumbuh kembang akar dan bagian atas tanaman (3) pasok dan penyerapan hara oleh
akar makin efesien, lancar, dan berimbang, (4) ketahanan internal terhadap hama
dan penyakit meningkat. Budidaya dengan menerapkan teknologi ini secara baik di
lahan jenis tersebut mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga
usaha tani pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing. Menjadikan lahan lebak
dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi dan
infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat menjadi pendukung
dan buffer untuk peningkatan produksi pangan dan swasembada.
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang
sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif
untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan
lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan
tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa
dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar
hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain
untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering untuk usaha tani pangan
seperti jagung, padi huma dan kedelai serta kacang tanah. Secara alamiah hal
ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun disadari bahwa
produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5 ton/ha
dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya
berdampak positif bagi peningkatan produksi pangan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah: (1)
pemerintah sebaiknya memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang
telah diusahahan petani yaitu semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani
tanaman pangan sehingga petani dapat memberikan kontribusi berupa pajak atas
usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2) memberikan bimbingan teknologi
budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi organik dan Bio/hayati guna
meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta yang memiliki
komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan
menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas dan nilai tambah
dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian dapat
dilakukan dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar memberikan
kontribusi yang nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai contoh jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya
Jagung jika dengan tambahan teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan
rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT maka akan terjadi
penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton jagung, berarti akan mensubstitusi
lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari usaha tani tanaman pangan ini
sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
sekitar dan bagi kepentingan nasional.
Mencapai Swasembada Pangan 2003 – 2010 Untuk Mewujudkan
Kemandirian Dan Ketahanan Pangan Nasional
Membangun Ketahanan pangan berbasis Agribisnis pangan rakyat
di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius. Pada tahun 1984
swasembada pangan pernah tercapai yang diukir sebagai prestasi gemilang saat
itu, namun tahun-tahun selanjutnya semakin merosot sehingga upaya-upaya
mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin terancam. Proyek
pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah,
implementasi BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS; tampaknya tidak memberikan manfaat
bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesejangan pangan dan
dengan produksi pangan nasional semakin terancam dan impor pangan dijadikan
sebagai solusi instan. Seharusnyalah dibangun kembali kerangkapembangunan
pertanian berkerakyatan dan berorientasi kemandirian dan
kesejahteraan yang merata di dalam sistem agribisnis yang terpadu. Masalah
penyediaan pangan untuk penduduk harus dipandang secara utuh, bukan sekedar
dinilai secara untung rugi saja tetapi lebih jauh dicermati pada aspek politik,
dan sosialnya karena di dalam pandangan nasional ketahanan pangan harus
merupakan bagian dari ketahanan nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan
rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi,
mencintai dan memperbaiki produksi pangan lokal harus terus dikembang-majukan.
Pertanian pangan termasuk di kawasan transmigrasi hendaknya jangan dipandang
sebagai lahan untuk menyerap tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus
memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain dengan tekanan nilai
jual hasil yang harus rendah dan biaya sarana produksi terus melambung. Tetapi
seharusnya petani pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah
melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi
ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Dalam hal ini adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku
produksi pertanian pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat
Indonesia .
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant
untuk mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk
dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak
tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil
panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga
petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak
menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga
ketahanan pangan nasional mejadi rapuh.
Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang
semakin tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk
mencapai kemandirian pangan ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya
terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi pangan nasional yang
terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya. Yang
perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi
bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi
pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan dan
pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani
pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk stock
pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di setiap
daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus ditunjang
dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan
infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.
Padi
Dalam kurun waktu satu dasa warsa ke depan Indonesia harus
mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat-nya. Tabel 2
menggambarkan keragaan pemacuan produksi dan pengurangan impor padi yang
dipandang rasional.
Dengan asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun 1,5 %
dan impor beras sekitar 1,5 - 2 juta ton pada tahun 2003 dan produksi dalam
negeri sekitar 52 juta ton, maka untuk mencapai swasembada pada tahun 2010
diperlukan trend peningkatan produksi sebesar 1,8 – 2,1 % pertahun. Peningkatan
ini sangat rasional dan dapat dilakukan dengan melihat potensi produk-tivitas
yang dapat ditingkatkan dan potensi ketersediaan lahan baru yang dapat dibuka
seperti lahan pasang surut, lebak dan lahan kering untuk padi (Suprihatno, dkk,
1999; Irianto, Gatot, dkk., 2002).
Jagung
Pada tahun 2002 impor jagung mencapai 2,2 juta ton dan sejak
tahun 2000 pertumbuhan produksinya menunjukkan trend yang cenderung negatif.
Melihat potensi yang ada bahwa hal upaya memacu produksi jagung dalam 10 tahun
kedepan masih dapat dilakukan, bahkan sekalipun untuk dapat mencapai surplus
(ekspor). Dengan menciptakan tingkat pertumbuhan produksi 2 % sampai 6,5 %per
tahun maka pada tahun 2010 Indonesia akan dapat mengekspor jagung. Hal ini
sangat rasional untuk dapat diwujudkan dan dicapai mengingat masih banyak lahan
tidur dan lahan kering potensial yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
dapat meningkatkan produksi jagung. Peluang penerapan teknologi produktivitas
Bio hayati organic dan penerapan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas
dari rata-rata 3,5 ton/ha menjadi lebih dari 6,5 ton/ha di lahan tersebut masih
sangat rasional apalagi agribisnis jagung telah didukung dengan tersedia dan
kesiapan stakeholder dari hulu sampai hilirnya.
Kedelai
Upaya mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat
ada sekitar 70 % kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya
impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak yang tragis bagi petani kedelai dan
untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan khusus dengan
mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya perimbangan
impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan
secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada
tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional
dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam negeri
sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini dan
dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang layak
saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi
sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil.
Menerapkan kebijakan tata niaga kedelai, pembatasan impor
(tarif bea masuk) dan insentif/subsidi bagi petani produsen dipandang perlu
pada komoditas ini karena merupakan komoditi hajat hidup orang banyak (Inkopti,
2001), jika memang keputusan kemandirian pangan sebagai keputusan politik untuk
ketahanan pangan. Persoalan teknologi produktivitas kedelai dan lahan
sebenarnya bukan lagi sebagai permasalahannya, hanya saja jika petani tidak
diberikan subsidi teknologi, produktivitasnya tetap rendah (< 1,2 ton/ha)
dan biaya produksi per satuan produk menjadi tinggi sehingga ke depannya tidak
dapat bersaing dipasaran bebas. Upaya ini perlu dilakukan dengan dengan
menerapkan kebijakan yang simultan untuk merangsang pertumbuhan tinggi baik
dengan melibatkan stakeholder pelaku bisnis kedelai dari hulu hingga hilir,
teknologi, petani, perbankan dan pemerintah.
Harus diciptakan kondisi yang kondusif untuk memberikan
perlindungan pada petani. Menciptakan dan mewujudkan kemandirian pangan
nasional agar lebih ditekankan pada peran petani serta stakeholder yang
mengawal sistem produksi dari keterjaminan penyediaan teknologi, sarana
produksi hingga industri hilirnya. Fasilitas kebijakan yang memberikan
kemudahan petani pangan mendapatkan subsidi teknologi, mekanisasi dan
fasilitasi penunjang budidaya (seperti infrastruktur untuk pertanian seperti
irigasi dan jalan, dan kredit produksi), perlindungan pasar serta kebijakan
impor terbatas diperlukan untuk kembali menggairahkan pertanian pangan. Dalam
hal ini perlu adanya rencana dan pedoman yang jelas dan sistematis sebagai
komitmen bagi stakeholder khususnya dari pemerintah melalui Departemen
Pertanian dan departemen terkait dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional
yang tangguh sebagai keputusan nasional yang didukung oleh pemerintah daerah
sebagai pelaksana di lapangan.
Upaya menciptakan kemandirian pangan dengan mengembangkan
produksi sumber pangan alternatif substitusi pangan impor dilakukan seiring
dengan pemacuan tiga komoditi pangan utama di atas. Sumber pangan karbohidrat
yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi pangan impor seperti kentang, jagung
putih dan umbi-umbian. Mengembangkan sumber pangan alternatif ini justru
memiliki nilai ekonomis tinggi karena disamping produktivitas per hektarnya
tinggi, pangan tersebut sebagai bahan baku industri. Dengan keragaman sumber
bahan pangan yang dikonsumsi dan dapat diproduksi di dalam negeri diharapkan
dapat menekan impor pangan secara nyata dan mengurangi ketergantungan pangan
dari luar negeri sehingga ketahanan dan kemandirian pangan nasional semakin
mantap.
numpang promote ya min ^^
ReplyDeleteBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*E*W*A*P*K
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)